Coba simak yang ini deh!

Liat Tayangan

Follow ya...

Friday, January 24, 2014

PEMAKSAAN WATAK SOSIAL DALAM FILM INDONESIA


Apakah anda cinta akan produk dalam negeri? Bagaimana dengan filmnya?

Sedikit celoteh dari saya mengenai film Indonesia. Siapa tidak suka film? Saya pikir hampir seluruh umat manusia suka film. Jepang merupakan kawasan produksi film terbesar setelah hollywood. Mengapa saya katakan seperti itu, betapa tidak perkembangan film disana dapat mempengaruhi revolusi dunia hiburan.

Perkembangan film Indonesia sendiri sempat mengalami kembang kempis pada masa kepemimpinan Umar Ismail. Betapa sebuah perjuangan besar bagi seorang Umar saat itu, sampai perlu mengimpor produk asing (film asing) sebagai pengisi di bioskop-bioskop dalam negeri. Hal itu dilakukan sebagai keputusan Umar untuk mendongkrak perfilman Indonesia saat itu (tercantum dalam SK ’70). Namun hasilnya masuklah budaya asing dengan sedikit skali filtrasi budaya, dan akhirnya film seks menjadi booming saat itu. Pengaruh dari hal itu, produksi sineas muda dalam karyanya menjadi ecek-ecek, bisa dikatakan mencontoh tapi berlebihan.

Dalam data perfilman, pada pertengahan 1990 Indonesia kembali mengalami krisis dalam produksi film. Tahun 1994, 26 film telah dilahirkan dan dilempar ke dalam industri hiburan. 1995, ada 22 film, tahun 1996 (34), dan 1997 (32). Antara tahun 1997-1998, saat krisis ekonomi dan sosial melanda Indonesia, film Indonesia ikut terjun dari lantai gedung tertinggi menjadi 4 film sepanjang tahun tersebut.

Lepas tahun menakutkan tersebut di atas, film Indonesia mencoba untuk bangkit kembali dengan kenaikan reputasi kuantitatif. Tahun 2000 (14) film, tahun 2001 turun tiga film, 2002 (14), 2003 (15), 2004 (31), dan 2005 akan ada dalam angka yang sama. Namun apakah anda tahu dibalik kenaikan film tersebut? Banyak film memaksakan tematik dalam setiap karyanya. Dengan dalih mencoba untuk mengangkat cerita dalam negeri, akhirnya puluhan film horor tidak jelas muncul. Saya pikir ini merupakan cara terpicik yang muncul dari sineas Indonesia dalam berkarya. Bagaimana tidak, kebanyakan akhirnya akan lari pada bentuk tuntutan pasar yang tidak seimbang akan sebuah revolusi hiburan dan industri hiburan.

Saya masih tetap kokoh pada pendirian saya bahwa Hollywood dan Jepang merupakan pabrik film terbaik di jagad dunia ini. Kita dapat lihat Detektif Conan (film kartun Jepang) misalnya sebagai contoh. Karakter yang terbentuk mencoba lari dari esensi sosial yang ada dan masih mengkerucut pada jati diri negaranya. Dalam film ini siapapun dapat dijadikan sebagai tersangka, direktur, gelandangan, kawan, musuh, keluarga. Seperti dapat kita lihat jika Jepang merupakan negara penghasil teknologi tercanggih di dunia. Esensi ini digunakan sebagai jati diri pada setiap filmnya dan ini akan menjadi masuk akal. Jepang dengan teknologinya yang kokoh akan terlihat kuat mengapa Indonesia tidak dengan dokumenter budayanya sehingga terlihat manis?

Seni dan sosial sebagai bentuk revolusi hiburan rasanya belum mendapat tempat yang jelas di Indonesia. Pasca orde Suharto menjabat sebagai presiden, ternyata belum bisa meninggalkan rasa malu ketika bentuk sosial coba diterapkan pada industri seni dan hiburan. Seperti pada contoh kasus yang saya berikan di atas (film Detektif Conan) rasanya kesadaran revolusi industri di Jepang tidak bisa disamakan dengan Indonesia. Jepang dapat memberikan pendidikan hiburan yang sebenarnya pada anak-anak bahwa bentuk kesenian tidak memberikan batasan dalam prosesnya. Kita justru memiliki nilai hegemoni yang kuat bahwa film Jepang mengajari kita berimajinasi tinggi, padahal kita tahu esensi seni adalah imajinasi yang berekspresi. Jadilah kita, Indonesia yang menuding kesalahan pada orang lain padahal kita yang tidak tahu kebenaran.

Pada banyak film Hollywood yang siar di publik tidak sedikit yang menjadikan sesuatu hal yang tabu di negara kita diangkat sebagai tema dan sukses menjadi film baik. Polisi bisa jadi penjahat, hakim bisa jadi pelacur atau bahkan germo sementara di Indonesia polisi akan tetap menjadi polisi dalam kesehariannya, karena jika polisi jadi tokoh yang suka menilang seseorang tanpa sebab maka akan menjadi gembar-gembor di sana-sini.

Pola perfilman Indonesia tidak akan berkembang bagi saya jika masih saja membatasi dan memaksakan watak sosial pada nilai seni hiburan. Saya masih tetap akan memilih Jepang sebagai negara yang cerdas menanggapi revolusi hiburan dan industri hiburan. Sekalipun film kita dianggap film bagus di luar negeri, namun pada akhirnya masyarakat kita akan tetap memilih Superman daripada Srikandi yang berlagak jadi Superman.

0 komentar: