Coba simak yang ini deh!
Liat Tayangan
Follow ya...
Wednesday, July 29, 2015
Sulitnya Akses Bersilaturahmi untuk Pemudik
Pemerintah sendiri tidak hanya tinggal diam menghadapi luapan pemudik dari tiap tahunnya. Sudah barang tentu dengan jumlah pemudik yang kian membludak akan semakin banyak masalah yang ditimbulkan dan tentunya pemerintah harus lebih sensitif dalam menyikapi masalah ini. Mudik tidak mungkin ditiadakan ataupun dilarang. Mudik adalah akar buadaya yang sudah mengakar bagai setiap warga di Indonesia, dimanapun kotanya.
Masalah yang sangat terlihat dengan adanya budaya mudik ini adalah banyaknya warga yang menggunakan jalur darat dengan kendaraan pribadi. hal tersebut telah menjadi kebiasaan bagi mereka sebagai alat pengungkapan bagi mereka tentang keberhasilannya hidup di kota besar. Selain itu kendaraan pribadi dinilai lebih nyaman ketimbang harus berdesakan dan antre di loket tiket transportasi umum. Pemerintah sendiri sudah mengusahakan perbaikan fasilitas transportasi umum sebagai alat trasnportasi mudik. Mantan Dirut PT KAI, Ignasius Jonan, pada masa jabatannya telah memperbaiki sistem perkeretaapian di Indonesia sehingga jauh lebih nyaman dan lebih murah. Selain itu perusahaan swasta pun dirasa cukup membantu untuk menyelesaikan masalah mudik ini, dengan mengadakan mudik bareng gratis.
Kendatipun sudah cukup banyak pihak yang terlibat dalam mengantisipasi masalah mudik, tetapi mudik masih saja menjadi biang permasalahan terutama dalam hal transportasi. Kemacetan saat mudik dengan jalur darat merupakan masalah yang paling dikhawatirkan bagi pemudik. Masalah tersebut tterasa sangat menakutkan bagi para pemudik. Dapat dibayangkan jarak tempuh Jakarta-Yogyakarta yang seharusnya ditempuh dengan 18 jam bisa ditempuh hingga 28 jam. Sebuah loncatan waktu yang terlampau jauh.
Label:
Just Diary
|
0
komentar
Pribumi yang Berkeluh tentang Peradabannya
Jumat,
9 Mei 2014, TANGERANG SELATAN - Tahun 2013, menjadi tahun kelam bagi Tangerang
Selatan. Daerah yang disebut-sebut bayi ajaib kerena masuk dalam lingkaran
bahaya narkoba dan ditetapkan menjadi zona merah narkotika dengan 7 kecamatan
dan 54 kelurahan terinfeksi. Hal tersebut diujarkan Kepala Badan Narkotika
Nasional (BNN) Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Ajun Komisaris Besar Polisi
(AKBP) Heri Istu Hariono dalam wawancaranya dengan www.kabar6.com 11 Desember 2013 lalu.
Sejumlah kasus narkotika dari mulai pengedaran dan penggunaan narkoba meningkat
pesat di area ini. Jika dilihat dari letak geografis Tangsel, memang kita dapat
anggap sangat berpotensi menjadi area perputaran transaksi narkotika. Letaknya
yang tidak jauh dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, berdempetan dengan
Bogor yang merupakan kantung peredaran ganja, dan dekat dengan pelabuhan Merak,
di tambah lagi kota ini memiliki Lapas, membuat potensi peredaran narkotika di
daerah ini semakin tinggi.
Dua bulan lalu saja, aparat
pejabat Pemda Tangerang Selatan pun ikut terlibat dalam jaring kriminalitas narkotika.
Murhaedi, Sekretaris Korpri Tangerang Selatan dan Mantan Lurah Serua, Ciputat
ini tidak hanya menggunakan narkoba, ia juga diduga mengedarkan narkotika di
kalangan teman-temannya. Keterlibatan aparat memang bukan suatu hal yang mengagetkan
untuk saat ini. Artis, anggota keamanan, atau pejabat memang merupakan korban
termudah untuk dijaring dalam bisnis haram ini. Baru-baru ini saja artis Roger
Danuarta tertangkap tangan tengah pingsan dalam pengaruh narkoba.
Tangerang Selatan memang
sedang menjadi sorotan kuat BNN karena banyaknya kasus narkotika yang terjadi
di area tersebut. "Dari hasil pengungkapan yang dilakukan kepolisian,
peredaran narkotika di Tangerang Selatan begitu meningkat tajam," kata
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) kota Tangerang Selatan (Tangsel), Ajun
Komisaris Besar Polisi (AKBP) Heri Istu Hariono di Tangerang dalam wawancaranya
bersama www.antaranews.com. Di tahun 2013 saja BNN
sudah berhasil menggagalkan pabrik ganja di area Tangerang Selatan. Sebanyak
130 kilogram ganja berhasil disita di daerah Ciputat, dan 1 ton ganja juga
ditemukan di Pamulang.
Dengan banyak ditemukannya kasus narkotika di area Tangerang
Selatan ini, rasanya BNN perlu menambah personil serta sistem yang ketat kepada
wilayah Tagerang Selatan ini. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) kota
Tangerang Selatan (Tangsel), Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Heri Istu
Hariono mengatakan “Memang tahun 2013, BNN Kota Tangerang Selatan hanya
memiliki 5 personil saja, sementara itu kasus yang ditangani pada tahun
tersebut sangatlah banyak. Miris memang, kota penyokong Jakarta dengan
mayoritas warganya sebagai pekerja pabrik ini hanya memiliki personil yang
sedikit untuk menangani kasus narkotika. Tak ayal di tahun yang sama, kasus
demi kasus membentur di BNN Tangerang Selatan.
Pada Maret 2014, BNNK Tangerang Selatan sudah merilis di
www.metroonline.co ada sekitar 20 ribu warganya positif sebagai pengguna
narkoba. Angka ini mencapai 0,009% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia di
tahun 2013/2014. Jumlah angka pengguna tersebut disinyalir masih akan bertambah
di tahun yang akan mendatang jika tidak segera dituntaskan. Dengan pesatnya
tumbuh kembang tingkat pengguna narkotika di Tangerang Selatan ini, rasanya
dibutuhkan tempat rehabilitasi dengan skala yang cukup besar. Perkiraan Pemkot
Tangsel sementara ini, sedikitnya diperlukan 5.000 meter persegi untuk dapat
menampung seluruh pecandu narkotika di semua wilayah Tangerang Selatan. “Lahan
tersebut kemungkinan akan direalisasikan di wilayah Setu,” tandas Wakil
Walikota Tangsel Benyamin Davni.
Lepas dari kenyataan bahwa Tangerang Selatan
masuk ke dalam zona merah narkotika, ternyata dibalik semua itu masyarakat
pribumilah yang diresahkan. Peradaban yang selama ini dinikmati oleh mereka
dengan keadaan yang aman dan nyaman mulai berubah menjadi wilayah berlingkaran
setan. Kekhawatiran mereka sangatlah beralasan, sebagian besar dari mereka
memiliki anak dan sungguh miris jika anak yang mereka banggakan sserta
diharapkan mampu menjadi, ikut terjun bebas di dunia narkotika yang kejam
tentunya.
Wahyudin, lelaki yang sudah menetap di
Serua, Ciputat, Tangerang Selatan sejak 30 tahun lalu misalnya, banyak kawan
sepermainannya saat masih kecil tewas dikarenakan OD (over dosis) narkoba.
Parahnya sebagiannya lagi justru menjadi pengedar narkoba dan tertangkap serta
dijebloskan ke dalam sel. Kini ia seorang diri memperjuangkan tanah
kelahirannya agar dapat lepas dari ikatan narkotika (dalam wawancara di BSD
Tangerang). Ia menegaskan kekecewaannya terhadap Pemerintah Kota Tangerang
Selatan yang dianggap tebang pilih. Menurutnya banyak pecandu narkoba yang
dikejar lalu dijatuhi hukuman tanpa direhabilitasi sementara itu para pengedar
yang beromset banyak justru masih dapat beredar.
Wahyudin juga mengungkapkan bahwa di
Sarua sendiri sudah hampir puluhan kawannya yang terlibat narkoba, tetapi
mereka merupakan pengguna dan kebanyakan dari mereka tewas akibat over dosis. Ia sudah mencoba untuk
menggugah Ketua RT, RW, Kelurahan, bahkan Kecamatan tetapi tindakannya pun
bertepuk sebelah tangan. “Saya punya anak laki-laki, mas. Apa jadinya kalau
anak laki-laki saya jadi generasi bejat yang menghabiskan waktunya untuk
merusak dirinya sendiri,” ujar Wahyudin. “Saya pernah mengajukan untuk diadakan
seminar antinarkoba di desa saya, sudah pernah juga menjadikan teman-teman
pecandu dalam acara seni di kampung saya, tapi semua itu sia-sia karena bagi
mereka perbuatan saya akan gagal, bagi mereka pengguna narkoba harus dijauhi
sehingga keluarga mereka terhindar dari barang haram itu,” lanjut Wahyudin
kepada penulis.
Selain tingkat pemerintahan daerah yang
memiliki kuasa untuk mengurusi masalah narkoba ini, Nampak jelas bahwa
masyarakat juga punya kewajiban untuk menyokong usaha pemerintah ini. Layaknya
Wahyudin yang berusaha keras untuk mengadakan acara-acara terkait narkoba untuk
menanggulangi penyalahgunaannya. “Warga kampung tempat saya aja gak ada satu
pun yang mau peduli sama para pengguna narkoba, yang baru coba-coba aja udah
jadi bulan-bulanan tetangga, yang katanya anak penjahat lah, sampah masyarakat
lah, gimana pada mau sadar coba, Mas?” tandasnya pada penulis. Sungguh dirasa
buruk memang pola pikir masyarakat kita terhadap pengguna. Mereka masih saja
berharap pengguna narkoba harus di tangkap, dan jebloskan ke dalam penjara.
Namun, dengan cara tersebut bukan solusi yang dapat kita terima, justru memunculkan
tindak kriminalitas baru yang lebih berbahaya. Pengguna narkoba tidak semuanya
berlaku sebagai pengedar, mereka telah memperburuk kehidupannya tapi kita masih
harus memperburuk keadaan mereka. Ini sama dengan pengasingan orang yang tengah
menderita sakit parah. Perlu kita ingat bahwa narkoba adalah bahaya laten yang
dapat menjangkiti siapa saja.
Banyaknya fakta bahwa Tangerang Selatan
masuk zona merah narkotika, menjadi kekhawatiran Wahyudin akan keberlangsungan
keluarganya di tanah kelahirannya sendiri. Tentunya Wahyudin merasa bimbang
akan peradaban kelahirannya yang serasa dirusak oleh oknum tak bertanggung
jawab, yaitu pengedar narkoba. Pilihannya hanya dua, mencoba untuk terus
berjuang mempertahankan tanah kelahirannya dan peradabannya yang selama ini
terlanjur rusak, atau memilih pergi dan mengungsikan keluarganya ke tempat yang
lebih aman. Suatu hal yang sulit untuk dipilih dan tentunya justru warga
pribumi yang menjadi korban.
Warga Serua sendiri bukan mencoba untuk
tutup mata menanggapi masalah ini, mereka terlanjur memiliki pola pikir skeptis
terhadap program yang dibuat oleh pemerintah. Pola pikir tersebut akhirnya
menenggelamkan fakta sesungguhnya bahwa BNN telah mencanangkan bebas narkoba
tahun 2015 dalam Program Indonesia Bergegas. Pada periode ini, dicanangkan
bahwa pengguna narkoba tidak lagi digelandang ke dalam sel, tapi justri
diberikan rasa aman karena adanya rehabilitasi gratis dari pemerintah. Maka
diharapkan para pengguna tidak merasa khawatir untuk melaporkan dirinya sebagai
narkoba. Hal tersebut dipastikan oleh Kepala BNN DR. Anang Iskandar dalam
sosialisasi Program Indonesia Bergegas.
Jika melihat dari visi BNN dalam
mencanangkan bebas narkoba tahun 2015, maka waktu yang dimiliki bhanya tersisa
7 bulan lagi. Tentu bukan waktu yang lama dan bukan pekerjaan yang mudah.
Dengan percepatan program berantas narkoba dalam Indonesia Bergegas ini
dibutuhkan kerjasama kuat antara pemerintah, masyarakat, dan BNN tentunya
sehingga menciptakan kerjasama yang bersinergi dalam visi yang mulia ini. Toh
visi ini merupakan keinginan kita bersama dan para pecandu pun akan merasa
dimanusiakan sehingga mereka akan berpikir untuk kembali menjadi manusia yang
normal dan dapat berbaur dengan yang lainnya.
Dikutip dari www.bnnpaceh.com “Pada
sidang High Level Segment Commission on Narcotic Drugs (CND)ke 52 di Wiena
tahun 2009 lima tahun yang lalu, Negara Anggota PBB berkomitmen untuk
mengimplementasikan Deklarasi Politik dan Rencana Aksi secara efektif, strategi
yang terintegrasi dan berimbang antara demand dan supply untuk menangani
peredaran gelap obat atau narkotika.” Dengan demikian masyarakat harusnya dapat
berperan aktif dalam program yang mulia ini bukan menjadi hakim yang tidak
bertanggung jawab dengan menciptakan sudut pandang negatif bagi para pengguna
narkoba. Pelaku yang seharusnya dihakimi adalah pengedar narkoba yang selama
ini berkamuflase dengan baiknya sehingga sulit sekali untuk dimusnahkan.
Pengguna narkoba adalah korban yang harus
diselamatkan, bukan orang yang patut disalahkan. Mereka hanya terlibat dalam
lingkaran setan dan butuh bantuan untuk dikembalikan lagi menjadi
manusia yang paripurna dan berakhlak mulia, serta dapat menjadi contoh untuk
diambil kisahnya sebagai benteng bagi banyak manusia lainnya yang ingin hidup
sehat tanpa narkoba, tanpa kejahatan, dan tanpa perusak mental bangsa yang
menjadikan anak bangsa terpuruk dalam keadaan yang memprihatinkan. Sudah
saatnya kita dukung dan aktif menyambut Indonesia bebas narkoba seperti
tindakan Wahyudin demi menjunjung tanah kelahirannya, tanah air Indonesia.
Bayu Murdiyanto
Label:
Blog and Jurnalism
|
0
komentar
Deskriminalisasi Ganja belum bisa Jadi Pilihan Indonesia
Berawal dari obrolan bersama istri
setelah saya pulang kerja sambil melepas penat dan tekanan di kantor. Istri
saya memulai percakapan dengan obrolan yang langsung serius. “Di sekitar kita
katanya sedang ada penyelidikan pemakai ganja loh,” ujar Istri saya. Dengan
santai saya hanya bersoloroh “Oh, trus kenapa?”. Betapa terkejutnya istri saya
melihat saya santai menanggapi obrolan tersebut. Saya sendiri justru jadi
bingung sendiri, kenapa harus heboh? mereka menggunakan ganja bukan mengedarkan
narkoba. Mereka gunakan barang itu sembunyi-sembunyi, bukan dihadapan banyak
orang. Ternyata paradigma istri saya masih sama dengan lingkungan pada umumnya.
Pengguna narkoba itu penjahat, preman, sampah masyarakat yang harus dimusnahkan
dengan kejam. Pemusnahan pengguna narkoba dalam artian dibebaskan dari
ketergantungannya itu adalah hal yang benar dan harus didukung, tapi jika harus
mencap mereka dengan predikat penjahat saya kurang sependapat.
Teringat beberapa hari yang lalu saya
berkunjung ke sebuah tempat rekreasi bernama Situ Gintung di Jl. Kertamukti,
Pisangan, Ciputat – Tangerang Selatan. Di sana ada sebuah bangunan sederhana
yang di dindingnya tertuliskan Legalisasi Ganja. Istri saya bertanya dengan
suara pelan, “Sarang penjahat di tempat umum, aman gak ya tempat begini?”. Saya
hanya tersenyum padanya, “Pengguna ganja sama saja seperti pengguna rokok. Cuma
bedanya, efek yang mereka terima lebih banyak daripada perokok aktif, jadi gak
ada hubungan konkret bahwa pengguna ganja akan melakukan kriminalitas,” ujar
saya dengan tenang menjelaskan padanya. Dalam suatu kesempatan saya juga pernah
menemukan video standing up Pandji Pragiwaksono yang bicara legalisasi ganja,
“Mana mungkin orang mabuk ganja akan nodong orang, jelas orang yang sedang dalam
pengaruh ganja berhalusinasi tinggi, jalan aja dia ketawa,” kata panji sambil
menirukan pengguna ganja yang sedang berhalusinasi.
Fenomena legalisasi ganja bukanlah suatu
hal yang baru baik di Indonesia maupun di semua negara. Gerakan Lingkar Ganja
Nusantara sendiri muncul tahun 2009 dengan grup facebook bernama DLG (Dukung
Legalisasi Ganja). Grup DLG sendiri pada awalnya memiliki dukungan hingga
11.000 dan akhirnya mereka bersepakat untuk membentuk organisasi legalisasi
ganja dengan nama Lingkar Ganja Nusantara (LGN) pada tahun 2010. Pembentukan
kata legalisasi ganja sendiri jika diartikan harfiah bermaksud untuk pengesahan
(menurut undang-undang atau hukum) terhadap tanaman ganja (mariyuana). Namun
demikian pemaknaannya justru lebih populer tidak bermakna harfiah, legalisasi
ganja diartikan dengan pikiran buruk terhadap ganja. Legalisasi ganja cenderung
dikira hanya didukung oleh pengguna ganja sebagai bahan memabukan saja, padahal
legalisasi ganja justru ingin menguak sisi positif dari tanaman ganja untuk suatu
hal yang lebih bermanfaat.
Legalisasi
Ganja di Indonesia Tidak akan Cocok
Berdasarkan sejarah, Belanda adalah
negara pertama yang melegalkan ganja sebagai tanaman yang boleh dimiliki oleh
orang dan dimanfaatkan fungsinya secara positif. Sejak tahun 1976, Belanda
sudah menjadi negara terdepan yang mereformasi UU narkotika dengan
menggolongkan ganja adalah narkotika ringan yang boleh dimiliki masyarakat
umum. Di beberapa negara lain pun ganja boleh digunakan oleh masyarakat umum tentunya dengan batas penggunaan yang diatur oleh pemerintah. Pada tanggal 6
Desember 2012, Colorado juga mengikuti jejak negara lain untuk melegalkan ganja
di batasan usia 21 tahun ke atas dan diperbolehkan menanam pohon ganja sebanyak
6 pohon tetapi hanya boleh di dalam ruangan (indoor). Bagaimana dengan Indonesia?
Secara umum, niat legalisasi ganja di
seluruh dunia memang berawal dengan niat yang sangat baik, yakni menjadikan
pohon ganja menjadi komoditi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Terlepas
dari hal tersebut, legalisasi ganja masih menjadi angan-angan yang belum bisa
jadi pilihan di Indonesia. Negara yang menetapkan deskriminalisasi ganja dan
jenis narkotika lainnya adalah negara yang secara mental sudah siap menjalankan
aturan tersebut. Hal tersebut diungkapkan oleh Adrianus Meliala dalam diskusi kontroversial legalisasi
ganja pada November 2013 lalu di Gd. Auditorium 5B Perpustakaan UI, Depok. “Sangat susah menjadikan ganja sebagai
sesuatu yang legal karena posisi Indonesia sebagai sebuah negara masih
bergantung dengan negara-negara lain sehingga pergaulan internasional menjadi
penting. Tidak mungkin kita menentang tata cara pergaulan internasional begitu
saja, karena akan ada konsekuensi-konsekuensi yang akan dihadapi Indonesia bila
melakukan itu. Negara-negara yang menerapkan ganja menjadi sesuatu yang legal
seperti Belanda umumnya adalah negara yang masyarakatnya sudah cukup matang
untuk menerima, bahkan untuk masyarakat seperti itu saja penerapan ganja
akhirnya juga membawa tingkat kenaikan kriminalitas di masyarakat," ujarnya
sambil menutup sesi presentasi.
Ada plus-minus dalam setiap pembahasan
legalisasi ganja tentunya. Mendeskriminalisasikan ganja sama dengan bersiap
mengahadapi tantangan baru di Indonesia. Seperti yang dikatakan Adrianus di
atas, bahkan negara semaju Belanda saja masih harus menerima dampak peningkatan
kriminalitas di negaranya, bagaimana dengan di Indonesia yang memiliki warga
masyarakat yang cenderung plural dalam ideologi. Dikhawatirkan dengan
dilegalkannya ganja dari narkotika kelas berat lainnya justru membuat sebagian
oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan hal tersebut dengan mempermudahnya
dalam menjual ganja untuk konsumsi candu.
Kita dapat menganalogikan deskriminalisasi
ganja ini dengan tidak dilarangnya merokok di Indonesia. Perokok di Indonesia
cukup diberikan angin segar oleh pemerintah karena masih diperbolehkan merokok
meskipun tidak di tempat-tempat tertentu.
Perokok aktif dibolehkan untuk merokok, tetapi dalam Perda Jakarta saja
misalnya, mereka dilarang keras merokok di semua tempat. Berdasarkan Bab IV
bagian 1 s.d. 7 di Pasal 6 s.d.13 Perda
Jakarta Nomor 75 Tahun 2005, perokok tidak
diperkenankan merokok di tempat fasilitas umum, tempat kerja, tempat proses
belajar mengajar, tempat pelayanan kesehatan, arena kegiatan anak-anak, tempat
ibadah, dan angkutan umum. Dengan adanya Perda Nomor 75 Tahun 2005 ini saja,
masih banyak masyarakat yang tidak mengindahkan peraturan tersebut karena bagi
mereka haruslah dibuat area khusus bagi perokok.
Masyarakat Indonesia cenderung akan
membuat aturan baru di dalam aturan yang sudah ada. Jelas legalisasi ganja di
Indonesia menjadi suatu hal yang tidak mungkin untuk dilakukan di Indonesia. Meskipun
niat awal legalisasi ganja tergolong baik, untuk menjadikan komoditi tanaman
ganja sebagai komoditi alternatif untuk dijadikan barang prakarya, pengobatan
dan bahan industri, tetapi dikhawatirkan pada akhirnya menjadi barang perusak
kesehatan bagi masyarakat karena diperdagangkan secara bebas.
Tanaman ganja sendiri memang dapat
bermanfaat bagi komoditi produk industri yang fungsional, di luar fungsinya
sebagai tanaman yang dapat menjadi bahan adiktif jika dikonsumsi baik secara dibakar
dan dihirup asapnya, serta dijadikan makanan. Dampak kriminalisasi yang
dilakukan pecandu ganja memang tidak dapat dilihat secara langsung setelah
pecandu tersebut menggunakan ganja, tetapi ganja tentunya dapat memperburuk
kesehatan umat manusia. Bisa dikatakan ganja tidak menimbulkan dampak
kriminalitas, namun dapat memperburuk keadaan ekonomi seseorang, baik yang
ditimbulkan sebelum penggunaannya maupun pascapenggunaaanya.
Pecandu ganja yang berlanjut tentunya
dapat merusak sejumlah oragan tubuh bagian dalam. Dengan adanya dampak
tersebut, maka jika ganja dideskriminalisasikan akan semakin banyak pecandu
yang menyalahartikan deskriminalisasi tersebut. Apabila jumlah pecandu ganja
semakin banyak, maka tingkat jumlah pasien di rumah sakit akan semakin banyak.
Hal tersebut tentunya menjadi dampak buruk bagi keluarga si korban pecandu ini.
Dampak menurunnya kemampuan ekonomi keluarga tentunya akan terjadi secara
besar-besaran dan akan memunculkan kriminalitas di kalangan masyarakat yang
diakibatkan minimnya tingkat perekonomian masyarakat.
Penelitian
Manfaat Tumbuhan Ganja Masih Banyak Halangan
Dalam thread yang dirilis oleh “lemur” di www.forum.viva.co.id terdapat pernyataan yang cukup
mencengangkan. “Ganja, 12.000 tahun menyuburkan peradaban manusia”.
Petikan kalimat tersebut menandakan bahwa sudah 10.000 tahun kiprah ganja bersama manusia sebelum peradaban modern mulai mencatat waktu masehi, dan kini sudah mulai dilegalkan di beberapa negara-negara bahkan di beberapa negara bagian Amerika, termasuk Washington dan Colorado.
Petikan kalimat tersebut menandakan bahwa sudah 10.000 tahun kiprah ganja bersama manusia sebelum peradaban modern mulai mencatat waktu masehi, dan kini sudah mulai dilegalkan di beberapa negara-negara bahkan di beberapa negara bagian Amerika, termasuk Washington dan Colorado.
Pada situs resmi LGN www.legalisasiganja.co.id dijelaskan secara gamblang mengenai sejarah
penggunaan tumbuhan ganja untuk obat. Menurut situs ini Cannabis (ganja) pertama kali diketahui dapat digunakan untuk pengobatan
yaitu dalam terapi pharmacopoeia di negeri Cina yang di sebut Pen Ts’ao.
Pharmacopoeia adalah sebuah buku yang berisi daftar obat-obatan serta cara
persiapan dan penggunaannya. Cannabis (ganja) disebut sebagai “Superior Herb”
oleh Kaisar Shen Nung (2737-2697 SM), yang diyakininya sangat manjur dan
mujarab. Cannabis (ganja) direkomendasikan sebagai pengobatan untuk berbagai
penyakit umum. Sekitar periode yang sama di Mesir, ganja digunakan sebagai
pengobatan untuk sakit mata. Ramuan ini digunakan di India dalam upacara budaya
dan agama, dan dicatat dalam kitab suci teks Sansekerta sekitar 1.400 SM. Ganja
dianggap sebagai ramuan kudus dan ditandai sebagai ” soother of grief ” atau ”
the sky flyer,” dan “surga orang miskin.” Berabad-abad kemudian, sekitar 700
SM, orang-orang bangsa Asyur menggunakan ramuan yang mereka sebut Qunnabu yang
digunakan sebagai dupa. Orang Yunani kuno menggunakan ganja sebagai obat untuk
mengobati peradangan, sakit telinga, dan edema (pembengkakan bagian tubuh
karena pengumpulan cairan). Tak lama setelah 500SM seorang sejarawan dan ahli
geografi, Herodotus mencatat bahwa masyarakat Scythians menggunakan ganja untuk
menghasilkan linen yang halus. Mereka juga menyebutnya sebagai rempah Cannabis
dan menggunakannya dengan cara menghirup uapnya yang dihasilkan ketika dibakar.
Pada tahun 100 SM bangsa Cina telah menggunakan ganja untuk membuat kertas.
Selain digunakan untuk
pengobatan, ternyata serat tumbuhan ganja juga mampu digunakan untuk membuat
beberapa bahan prakarya, sepertu sepatu, baju, serta kertas dekorasi yang mampu
didaur ulang sebanyak 7-8 kali. Terobosan mengenai tanaman ganja ini memang
bukan suatu hal yang baru, tetapi di Indonesia sendiri, untuk meneliti tanaman
ganja membutuhkan prosedural yang cukup rumit. Mengapa rumit? Indonesia mengeluarkan undang-undang tentang larangan proses
produksi, distribusi sampai tahap konsumsi dari tanaman ganja. Undang-undang
No. 22 1997 tentang Narkotika mengklasifikasikan ganja; biji, buah, jerami,
hasil olahan atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis sebagai
narkotika golongan I yang berarti satu kelas dengan opium dan kokain. Pasal 82
ayat 1 butir a UU tersebut menyatakan bahwa mengimpor, mengekspor, menawarkan
untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah). Hukuman yang sangat berat bagi pemilik tanaman ini tentunya.
Satu pohon ganja saja kita haru memperoleh hukuman seberat itu, sekalipun
digunakan untuk penelitian. Itulah yang menyebabkan penilitian mengenai manfaat
ganja di Indonesia menjadi sulit baik secara prosedur maupun publikasinya.
Penelitian ganja pada akhirnya banyak dirilis oleh negara lain dan bukan
Indonesia selama aturan kepemilikan ganja masih menjadi masalah.
Terlepas dari kontroversi
yang terjadi mengenai deskriminalisasikan ganja, Indonesia sebagai negara
merdeka rasanya belum siap untuk menjalankan aturan tersebut. Deskriminalisasi
ganja pada akhirnya akan menumbuhkan permasalahan baru bagi BNN dan pemerintah.
Paradigma masyarakat Indonesia haruslah diubah terlebih dahulu menjadi manusia
yang bijak dan siap menjawab berbagai macam tantangan terlebih dahulu,
sementara kita pun masih menjadikan pecandu sebagai penjahat. Jika predikat
kriminal masih menimpa pecandu narkoba bukan predikat korban, maka sulit bagi
Indonesia untuk melegalisasikan ganja sebagai tanaman berkhasiat bagi kesehatan
dan bidang lainnya. Ganja terlanjur memiliki predikat buruk di hati masyarakat
Indonesia.
Apapun yang dapat dilakukan,
pada akhirnya pemberantasan narkoba di Indonesia tetaplah harus menjadi
prioritas kita yang pertama. Jadikan Indonesia bebas dari narkoba, khususnya
pengedar narkoba di tahun 2015 dengan Indonesia Bergegas. Legalisasi Ganja
belum bisa menjadi pilihan di Indonesia untuk menurunkan tingkat penggunaan
narkoba di Indonesia, tetapi memerangi narkoba adalah hal yang wajib.
Bayu Murdiyanto
Label:
Blog and Jurnalism
|
0
komentar
Subscribe to:
Posts (Atom)