Coba simak yang ini deh!

Liat Tayangan

Follow ya...

Wednesday, July 29, 2015

Deskriminalisasi Ganja belum bisa Jadi Pilihan Indonesia

Berawal dari obrolan bersama istri setelah saya pulang kerja sambil melepas penat dan tekanan di kantor. Istri saya memulai percakapan dengan obrolan yang langsung serius. “Di sekitar kita katanya sedang ada penyelidikan pemakai ganja loh,” ujar Istri saya. Dengan santai saya hanya bersoloroh “Oh, trus kenapa?”. Betapa terkejutnya istri saya melihat saya santai menanggapi obrolan tersebut. Saya sendiri justru jadi bingung sendiri, kenapa harus heboh? mereka menggunakan ganja bukan mengedarkan narkoba. Mereka gunakan barang itu sembunyi-sembunyi, bukan dihadapan banyak orang. Ternyata paradigma istri saya masih sama dengan lingkungan pada umumnya. Pengguna narkoba itu penjahat, preman, sampah masyarakat yang harus dimusnahkan dengan kejam. Pemusnahan pengguna narkoba dalam artian dibebaskan dari ketergantungannya itu adalah hal yang benar dan harus didukung, tapi jika harus mencap mereka dengan predikat penjahat saya kurang sependapat.
Teringat beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke sebuah tempat rekreasi bernama Situ Gintung di Jl. Kertamukti, Pisangan, Ciputat – Tangerang Selatan. Di sana ada sebuah bangunan sederhana yang di dindingnya tertuliskan Legalisasi Ganja. Istri saya bertanya dengan suara pelan, “Sarang penjahat di tempat umum, aman gak ya tempat begini?”. Saya hanya tersenyum padanya, “Pengguna ganja sama saja seperti pengguna rokok. Cuma bedanya, efek yang mereka terima lebih banyak daripada perokok aktif, jadi gak ada hubungan konkret bahwa pengguna ganja akan melakukan kriminalitas,” ujar saya dengan tenang menjelaskan padanya. Dalam suatu kesempatan saya juga pernah menemukan video standing up Pandji Pragiwaksono yang bicara legalisasi ganja, “Mana mungkin orang mabuk ganja akan nodong orang, jelas orang yang sedang dalam pengaruh ganja berhalusinasi tinggi, jalan aja dia ketawa,” kata panji sambil menirukan pengguna ganja yang sedang berhalusinasi.
Fenomena legalisasi ganja bukanlah suatu hal yang baru baik di Indonesia maupun di semua negara. Gerakan Lingkar Ganja Nusantara sendiri muncul tahun 2009 dengan grup facebook bernama DLG (Dukung Legalisasi Ganja). Grup DLG sendiri pada awalnya memiliki dukungan hingga 11.000 dan akhirnya mereka bersepakat untuk membentuk organisasi legalisasi ganja dengan nama Lingkar Ganja Nusantara (LGN) pada tahun 2010. Pembentukan kata legalisasi ganja sendiri jika diartikan harfiah bermaksud untuk pengesahan (menurut undang-undang atau hukum) terhadap tanaman ganja (mariyuana). Namun demikian pemaknaannya justru lebih populer tidak bermakna harfiah, legalisasi ganja diartikan dengan pikiran buruk terhadap ganja. Legalisasi ganja cenderung dikira hanya didukung oleh pengguna ganja sebagai bahan memabukan saja, padahal legalisasi ganja justru ingin menguak sisi positif dari tanaman ganja untuk suatu hal yang lebih bermanfaat.

Legalisasi Ganja di Indonesia Tidak akan Cocok
Berdasarkan sejarah, Belanda adalah negara pertama yang melegalkan ganja sebagai tanaman yang boleh dimiliki oleh orang dan dimanfaatkan fungsinya secara positif. Sejak tahun 1976, Belanda sudah menjadi negara terdepan yang mereformasi UU narkotika dengan menggolongkan ganja adalah narkotika ringan yang boleh dimiliki masyarakat umum. Di beberapa negara lain pun ganja boleh digunakan oleh masyarakat umum tentunya dengan batas penggunaan yang diatur oleh pemerintah. Pada tanggal 6 Desember 2012, Colorado juga mengikuti jejak negara lain untuk melegalkan ganja di batasan usia 21 tahun ke atas dan diperbolehkan menanam pohon ganja sebanyak 6 pohon tetapi hanya boleh di dalam ruangan (indoor). Bagaimana dengan Indonesia?
Secara umum, niat legalisasi ganja di seluruh dunia memang berawal dengan niat yang sangat baik, yakni menjadikan pohon ganja menjadi komoditi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Terlepas dari hal tersebut, legalisasi ganja masih menjadi angan-angan yang belum bisa jadi pilihan di Indonesia. Negara yang menetapkan deskriminalisasi ganja dan jenis narkotika lainnya adalah negara yang secara mental sudah siap menjalankan aturan tersebut. Hal tersebut diungkapkan oleh Adrianus Meliala dalam diskusi kontroversial legalisasi ganja pada November 2013 lalu di Gd. Auditorium 5B Perpustakaan UI, Depok. “Sangat susah menjadikan ganja sebagai sesuatu yang legal karena posisi Indonesia sebagai sebuah negara masih bergantung dengan negara-negara lain sehingga pergaulan internasional menjadi penting. Tidak mungkin kita menentang tata cara pergaulan internasional begitu saja, karena akan ada konsekuensi-konsekuensi yang akan dihadapi Indonesia bila melakukan itu. Negara-negara yang menerapkan ganja menjadi sesuatu yang legal seperti Belanda umumnya adalah negara yang masyarakatnya sudah cukup matang untuk menerima, bahkan untuk masyarakat seperti itu saja penerapan ganja akhirnya juga membawa tingkat kenaikan kriminalitas di masyarakat," ujarnya sambil menutup sesi presentasi.
Ada plus-minus dalam setiap pembahasan legalisasi ganja tentunya. Mendeskriminalisasikan ganja sama dengan bersiap mengahadapi tantangan baru di Indonesia. Seperti yang dikatakan Adrianus di atas, bahkan negara semaju Belanda saja masih harus menerima dampak peningkatan kriminalitas di negaranya, bagaimana dengan di Indonesia yang memiliki warga masyarakat yang cenderung plural dalam ideologi. Dikhawatirkan dengan dilegalkannya ganja dari narkotika kelas berat lainnya justru membuat sebagian oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan hal tersebut dengan mempermudahnya dalam menjual ganja untuk konsumsi candu.
Kita dapat menganalogikan deskriminalisasi ganja ini dengan tidak dilarangnya merokok di Indonesia. Perokok di Indonesia cukup diberikan angin segar oleh pemerintah karena masih diperbolehkan merokok meskipun tidak di tempat-tempat tertentu.  Perokok aktif dibolehkan untuk merokok, tetapi dalam Perda Jakarta saja misalnya, mereka dilarang keras merokok di semua tempat. Berdasarkan Bab IV bagian 1 s.d. 7 di Pasal 6 s.d.13  Perda Jakarta Nomor 75 Tahun 2005, perokok tidak diperkenankan merokok di tempat fasilitas umum, tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, tempat pelayanan kesehatan, arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah, dan angkutan umum. Dengan adanya Perda Nomor 75 Tahun 2005 ini saja, masih banyak masyarakat yang tidak mengindahkan peraturan tersebut karena bagi mereka haruslah dibuat area khusus bagi perokok.
Masyarakat Indonesia cenderung akan membuat aturan baru di dalam aturan yang sudah ada. Jelas legalisasi ganja di Indonesia menjadi suatu hal yang tidak mungkin untuk dilakukan di Indonesia. Meskipun niat awal legalisasi ganja tergolong baik, untuk menjadikan komoditi tanaman ganja sebagai komoditi alternatif untuk dijadikan barang prakarya, pengobatan dan bahan industri, tetapi dikhawatirkan pada akhirnya menjadi barang perusak kesehatan bagi masyarakat karena diperdagangkan secara bebas.
Tanaman ganja sendiri memang dapat bermanfaat bagi komoditi produk industri yang fungsional, di luar fungsinya sebagai tanaman yang dapat menjadi bahan adiktif jika dikonsumsi baik secara dibakar dan dihirup asapnya, serta dijadikan makanan. Dampak kriminalisasi yang dilakukan pecandu ganja memang tidak dapat dilihat secara langsung setelah pecandu tersebut menggunakan ganja, tetapi ganja tentunya dapat memperburuk kesehatan umat manusia. Bisa dikatakan ganja tidak menimbulkan dampak kriminalitas, namun dapat memperburuk keadaan ekonomi seseorang, baik yang ditimbulkan sebelum penggunaannya maupun pascapenggunaaanya.
Pecandu ganja yang berlanjut tentunya dapat merusak sejumlah oragan tubuh bagian dalam. Dengan adanya dampak tersebut, maka jika ganja dideskriminalisasikan akan semakin banyak pecandu yang menyalahartikan deskriminalisasi tersebut. Apabila jumlah pecandu ganja semakin banyak, maka tingkat jumlah pasien di rumah sakit akan semakin banyak. Hal tersebut tentunya menjadi dampak buruk bagi keluarga si korban pecandu ini. Dampak menurunnya kemampuan ekonomi keluarga tentunya akan terjadi secara besar-besaran dan akan memunculkan kriminalitas di kalangan masyarakat yang diakibatkan minimnya tingkat perekonomian masyarakat.

Penelitian Manfaat Tumbuhan Ganja Masih Banyak Halangan
Dalam thread yang dirilis oleh “lemur” di www.forum.viva.co.id terdapat pernyataan yang cukup mencengangkan. “Ganja, 12.000 tahun menyuburkan peradaban manusia”.
Petikan kalimat tersebut menandakan bahwa sudah 10.000 tahun kiprah ganja bersama manusia sebelum peradaban modern mulai mencatat waktu masehi, dan kini sudah mulai dilegalkan di beberapa negara-negara bahkan di beberapa negara bagian Amerika, termasuk Washington dan Colorado.
 
Pada situs resmi LGN www.legalisasiganja.co.id dijelaskan secara gamblang mengenai sejarah penggunaan tumbuhan ganja untuk obat. Menurut situs ini Cannabis (ganja) pertama kali diketahui dapat digunakan untuk pengobatan yaitu dalam terapi pharmacopoeia di negeri Cina yang di sebut Pen Ts’ao. Pharmacopoeia adalah sebuah buku yang berisi daftar obat-obatan serta cara persiapan dan penggunaannya. Cannabis (ganja) disebut sebagai “Superior Herb” oleh Kaisar Shen Nung (2737-2697 SM), yang diyakininya sangat manjur dan mujarab. Cannabis (ganja) direkomendasikan sebagai pengobatan untuk berbagai penyakit umum. Sekitar periode yang sama di Mesir, ganja digunakan sebagai pengobatan untuk sakit mata. Ramuan ini digunakan di India dalam upacara budaya dan agama, dan dicatat dalam kitab suci teks Sansekerta sekitar 1.400 SM. Ganja dianggap sebagai ramuan kudus dan ditandai sebagai ” soother of grief ” atau ” the sky flyer,” dan “surga orang miskin.” Berabad-abad kemudian, sekitar 700 SM, orang-orang bangsa Asyur menggunakan ramuan yang mereka sebut Qunnabu yang digunakan sebagai dupa. Orang Yunani kuno menggunakan ganja sebagai obat untuk mengobati peradangan, sakit telinga, dan edema (pembengkakan bagian tubuh karena pengumpulan cairan). Tak lama setelah 500SM seorang sejarawan dan ahli geografi, Herodotus mencatat bahwa masyarakat Scythians menggunakan ganja untuk menghasilkan linen yang halus. Mereka juga menyebutnya sebagai rempah Cannabis dan menggunakannya dengan cara menghirup uapnya yang dihasilkan ketika dibakar. Pada tahun 100 SM bangsa Cina telah menggunakan ganja untuk membuat kertas.
Selain digunakan untuk pengobatan, ternyata serat tumbuhan ganja juga mampu digunakan untuk membuat beberapa bahan prakarya, sepertu sepatu, baju, serta kertas dekorasi yang mampu didaur ulang sebanyak 7-8 kali. Terobosan mengenai tanaman ganja ini memang bukan suatu hal yang baru, tetapi di Indonesia sendiri, untuk meneliti tanaman ganja membutuhkan prosedural yang cukup rumit. Mengapa rumit? Indonesia mengeluarkan undang-undang tentang larangan proses produksi, distribusi sampai tahap konsumsi dari tanaman ganja. Undang-undang No. 22 1997 tentang Narkotika mengklasifikasikan ganja; biji, buah, jerami, hasil olahan atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis sebagai narkotika golongan I yang berarti satu kelas dengan opium dan kokain. Pasal 82 ayat 1 butir a UU tersebut menyatakan bahwa mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Hukuman yang sangat berat bagi pemilik tanaman ini tentunya. Satu pohon ganja saja kita haru memperoleh hukuman seberat itu, sekalipun digunakan untuk penelitian. Itulah yang menyebabkan penilitian mengenai manfaat ganja di Indonesia menjadi sulit baik secara prosedur maupun publikasinya. Penelitian ganja pada akhirnya banyak dirilis oleh negara lain dan bukan Indonesia selama aturan kepemilikan ganja masih menjadi masalah.
Terlepas dari kontroversi yang terjadi mengenai deskriminalisasikan ganja, Indonesia sebagai negara merdeka rasanya belum siap untuk menjalankan aturan tersebut. Deskriminalisasi ganja pada akhirnya akan menumbuhkan permasalahan baru bagi BNN dan pemerintah. Paradigma masyarakat Indonesia haruslah diubah terlebih dahulu menjadi manusia yang bijak dan siap menjawab berbagai macam tantangan terlebih dahulu, sementara kita pun masih menjadikan pecandu sebagai penjahat. Jika predikat kriminal masih menimpa pecandu narkoba bukan predikat korban, maka sulit bagi Indonesia untuk melegalisasikan ganja sebagai tanaman berkhasiat bagi kesehatan dan bidang lainnya. Ganja terlanjur memiliki predikat buruk di hati masyarakat Indonesia.
Apapun yang dapat dilakukan, pada akhirnya pemberantasan narkoba di Indonesia tetaplah harus menjadi prioritas kita yang pertama. Jadikan Indonesia bebas dari narkoba, khususnya pengedar narkoba di tahun 2015 dengan Indonesia Bergegas. Legalisasi Ganja belum bisa menjadi pilihan di Indonesia untuk menurunkan tingkat penggunaan narkoba di Indonesia, tetapi memerangi narkoba adalah hal yang wajib.

Bayu Murdiyanto

0 komentar: