Coba simak yang ini deh!

Liat Tayangan

Follow ya...

Sunday, July 30, 2017

BETAPA BESAR PENGARUH LEKSIKON MAKNA SESEORANG TERHADAP DUNIA SASTRA

Apakah anda sadar betapa jeniusnya anda dalam memproduksi bahasa yang nantinya digunakan dalam percakapan sehari-hari? Dalam keadaan normal, manusia memiliki kemampuan yang sangat cepat dalam menanggapi makna kata maupun dalam mengucapkannya sebagai tidakan menanggapi ujaran yang diterima. Hal ini memang menakjubkan karena jumlah kosakata yang dimiliki oleh orang dewasa luar biasa besarnya. Penelitian awal mengenai bahasa Inggris yang dilakukan Seashore dan Eckerton (1940 dalam Aitchison 1994: 5) menunjukan bahwa seorang yang terdidik (minimal dapat membaca dan menulis) dapat mengetahui lebih dari 150.000 kata dan mampu menggunakan 90 % dari jumlah ini. Penelitian yang lebih belakangan menunjukan bahwa mahasiswa Negara Inggris memiliki lebih dari 50.000 kosakata. Kosakata para siswa Amerika untuk membaca diperkirakan sekitar 40.000 dan bisa naik menjadi antara 60.000 sampai 80.000 bila nama diri, nama kota, dan ungkapan idiomatik juga diperhitungkan (Aitchison 1994: 7). Kalau kita ambil saja patokan 60.000, yakni, sisi rendah dari 50.000 dan 80.000, kecepatan orang dapat memahami kata sangatlah luar biasa. Dalam metode Shadowing (yakni, subjek diminta untuk meniru ujaran sambil mendengarkannya) didapati bahwa peniru dapat menirukan dengan selang waktu antara 250-275 milidetik.

Hiruk Pikuk antara Punk dan Narkoba

“Pasukan Berani Mati”, begitulah kiranya sebutan untuk komunitas nyentrik ini di kalangan masyarakat kita. Idealismenya dalam mempertahankan hidup, mungkin itulah yang digadang-gadang menjadi alasan mengapa masyarakat menyebut mereka dengan sebutan tersebut. Dengan personil berpakaian urakan, nongkrong di jalan-jalan, berambut runcing dan awut-awutan, pergaulannya yang terlihat tidak normatif bagi masyarakat umum, menjadi penambah paradigma negatif pada diri mereka.
Sebenarnya punk lahir bukan berasal dari musik dan fashion, seperti yang marak kita lihat selama ini. Punk lahir sebagai wujud pemberontakan, ketidakpuasan hati, rasa marah, benci, terhadap ssegala bentuk kemapanan dalam masyarakat. Dari sifat-sifat tadilah punk meluapkannya lewat musik dan fashion, begitulah kirannya menurut Achmad Yani dalam blognya www.achmadyani007.blogspot.com (dalam tulisannya Selasa, 19 Maret 2013). Berdasarkan hal tersebut maka punk bukan lahir dari fashion dan musik tapi itu adalah hasil dari proses lahirnya pola pikir punk. Sayangnya masyarakat terlanjur memberikan sudut pandang buruk bagi mereka karena yang dilihat adalah hasil proses lahirnya punk ke dunia. Hasil pandangan salah ini pun menjadi tren di remaja kita yang cenderung menyenangi peniruan karakter.
Remaja memang cenderung memiliki cara meniru untuk menemukan jati dirinya. Pola peniru pun berlangsung secara alami dalam diri manusia. Suatu hal yang wajar terjadi, seperti yang dikatakan Rousseau dalam Dalyono (2001:106), “Manusia itu pada dasarnya baik, ia jadi buruk dan jahat karena pengaruh kebudayaan.” Dengan munculnya visualisasi punk yang dirasa tidak normatif ini, justru menjadi cara mereka untuk meniru bahwa gaya hidup punk dalam fashion dan musik yang dianggap keren. Mereka justru menyebabkan budaya murni punk menjadi kabur dan berubah menjadi paradigma negatif.

Sepanjang

Awas jaga jarak!!!
R.M. Panorama
Dirgahayu Republik Indonesia
Makam Pahlawan
Hotel Nirwana.

Tak bisakah semua?
Berawal di takbir terang
sampai di takbir gelap
(maya tapi pasti)
tanpa tembok.
Tak bisa tahu,
karena hanya batin masingmasing
yang mau percaya kembali
ke titik nadir.


(Sepanjang Pantura, 2008)

Induk yang Hilang

seekor lebah kembali setelah lelah
mencari madu di barat.
Dengan kedua tangan
dan sisa organ yang lain
ia menggpoh cawan tempat madu
untuk dibawa pulang sebagai bahan makanan
nantinya.
Lebah sampai tujuan,
tapi rumah kosong,
ia masuk kerumah mencari induknya.
tetap kosong.
Tak lama lebah bersedih
bukan karena sedih tapi ada sedih
yang berlebih.
Induknya hilang entah kemana.
Lalu ketika ditanya cawan madu yang ia bawa,
kenapa kau bersedih?
Lebah menjawab, "Aku tak bisa makan
kalau indukku tak ada walau aku bisa mencari madu".


(kutulis masa kuliah dulu sekadar menemani rutinitas yang mudah ditebak)

RESTORASI NAGABONAR

Film adalah artefak budaya yang sangat perlu dilestarikan sama halnya dengan artefak budaya kita yang lainnya. Sebagai karya seni, film mengandung artefak sejarah seperti halnya sebuah candi juga mengandung dokumen sosial dan sejarah. Realisme pada film sesungguhnya adalah imajinasi sang pembuat yang berasal dari endapannya dalam memandang realitas pada situasi dan kondisi realitas sosial film tersebut dibuat. Bahkan menurut J.B. Kristanto, film adalah artefak budaya yang ‘aktif’ karena kita menyaksikan masa lalu secara ‘hidup’. Sehingga, merestorasi sebuah film adalah usaha melestarikan artefak budaya yang penting untuk dilakukan, sebagai bagian menyelamatkan warisan sejarah bangsa.
Beberapa hari ini, Kompas TV menayangkan iklan pemutaran film Naga Bonar menjelang pergantian tahun 2014-2015. Dalam iklannya, Kompas TV mengklaim kesempatan bagus menonton kembali film mahakarya anak bangsa ini dalam keadaan yang 'bersih' hasil teknologi restorasi digital. Restorsi film merupakan sebuah tindakan mereproduksi sebuah film agar dapat bisa terlihat dan dapat dilihat. 
Film "Naga Bonar" sendiri merupakan film garapan sutradara M.T. Risyaf padatahun 1987 yang dibintangi Deddy Mizwar, Nurul Arifin, dan Afrizal Anoda. Film ini merupakan film komedi situasi yang mengambil latar peristiwa perang kemerdekaan Indonesia ketika sedang melawan kedatangan pasukan Kerajaan Belanda pasca kemerdekaan Indonesia di daerah Sumatera Utara. Sekuelnya juga sudah dibuat bertajuk "Naga Bonar (Jadi) 2" (2007) yang ternyata sukses ditonton oleh banyak orang. Ini berarti,  masyarakat kita butuh keragaman tema film. Tidak sekadar film horor saja. Disamping itu, untuk saat ini film asli Indonesia dengan genre nasionalime masih sangat minim ditemukan di pasaran film Indonesia, yang masih banyak hanyalah film bertema cinta dan hantu.
Friday, February 3, 2017

Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jasin Menjadi Pemakaman bagi Sastrawan Indonesia

Ruang Baca PDS H.B. Jasin
    Kurangnya publisitas sastra di kalangan awam memang merupakan masalah klasik yang belum diselesaikan, bahkan bisa dikatakan diterlantarkan. Sastra yang masih menjadi paradigma hiburan elite tentu justru menyebabkannya semakin tidak dikenal di masyarakat menengah ke bawah. Semestinya sastra merupakan bentuk edukasi bersama dalam ranah historis dan materi diakronik sebagai identitas bangsa. Meskipun demikian, kehadiran sastra masih dikatakan tidak dirasa bahkan seperti tercuaikan.
   Dalam sejarahnya H.B. Jasin mengatakan bahwa umur kajian sastra di Indonesia dan sastra Indonesia itu sendiri terbilang relatif masih sangat muda. Namun demikian, perkembangan sastra di periodisasi 60-an sempat berkembang dengan didukungnya media pendidikan sastra Indonesia. Harapan awalnya tentu bukanlah persoalan yang muluk, sastra hanya diharapkan menjadi "panganan" harian bagi siswa di sekolahnya. Sayangnya, hal tersebut tidak didukung dengan media pembelajaran apresiasi sastra yang kuat. Pendidikan apresiasi sastra belumlah suatu hal yang sistematis dan baku. H.B. Jasin (dalam Ajip Rosidi, 2013:212) mengatakan pendidikan apresiasi sastra masih tambal sulam dan belumlah sistematis. Tentu hal tersebut berdampak langsung pada peran pendidikan sastra Indonesia sebagai media pengembangan publisitas sastra Indonesia.
      H.B. Jasin sebagai seorang kritikus yang terlahir dari kegelisahannya tentang penyelamatan sastra historis menelurkan pemikiran yang cerdas. Ia tergerak untuk mengumpulkan semua dokumentasi sastrawan di Indonesia yang sekarang menjadi harta karun bagi masyarakat luas. Dengan pemanfaatan dokumentasi sastra tentunya akan memperluas pemahaman kita terhadap sastra historis. Secara tidak langsung, hal tersebut juga menciptakan perkembangan pendidikan sastra di Indonesia.
    Melihat manfaat dan fungsinya, bisa dikatakan H.B. Jasin berhasil menciptakan ruang baca sejarah yang sangat diperlukan bagi masyarakat yang ingin mengkaji lebih jauh tentang perkembangan kesusastraan Indonesia. Namun demikian, kondisi ruang baca sejarah sastra yang diciptakan H.B.Jasin ini ternyata menjadi onggokan yang mirip dengan pemakaman. Hal tersebut karena sepinya pengunjung yang datang untuk memanfaatkan keberadaan ruang tersebut. Dalam sehari pengunjung Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jasin ini bisa dihitung jari. Ruang yang terletak di sebelah Gedung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki ini memang terbilang kurang strategis mengingat letaknya yang tidak terpampang jelas di jalur utama. Pengunjung dapat melihat papan penanda dengan warna yang mulai kusam saat menuju Gedung Teater Kecil TIM.
    Untuk masuk ke PDS H.B. Jasin pengunjung harus naik ke lantai dua dengan menggunakan tangga plat besi yang tidak eksklusif sama sekali. Kendati pun ruang baca yang disediakan cukup bersih dan nyaman, tetapi ruangan yang tersaji cukup kecil untuk kunjungan kolektif. Suasana yang tersaji saat Anda datang perorangan pun menjadi sangat sepi dan lengang karena sedikitnya jumlah pengunjung. Meskipun demikian, pelayanan petugas PDS H.B. Jasin tidak bisa dikatakan kurang, mengingat mereka langsung menyambut pengunjung dengan menanyakan keperluan para pengunjung. Kita memang tidak dapat menemukan dokumentasi yang dibutuhkan dengan mencari langsung, tetapi petugas PDS H.B. Jasin dengan cekatan akan mencarikan dokumentasi yang dibutuhkan. Kita juga dapat meng-copy dokumentasi yang dibutuhkan.
     Dengan realita yang ada tersebut, tampaknya PDS H.B. Jasin perlu bebenah diri agar tidak menjadi pemakaman bagi dokumentasi sastra yang jelas-jelas dibutuhkan masyarakat luas. Perlu juga diadakan upaya pendekatan kepada masyarakat agar mereka merasa dekat dengan PDS H.B. Jasin. Beragam upaya tersebut tentunya berguna sebagai realisasi perkembangan pendidikan sastra Indonesia. Tentunya kesadaran kita sebagai pengguna sastra dalam mencapai tujuan historis perlu diperkuat dan disadarkan agar pemeliharaan dokumentasi sastra sebagai harta karun jauh lebih berharga.