Coba simak yang ini deh!
Liat Tayangan
Follow ya...
Sunday, July 30, 2017
RESTORASI NAGABONAR
Film adalah
artefak budaya yang sangat
perlu dilestarikan sama halnya dengan artefak budaya kita yang lainnya.
Sebagai karya seni, film mengandung
artefak sejarah seperti halnya sebuah candi juga mengandung
dokumen sosial dan sejarah.
Realisme pada film sesungguhnya adalah imajinasi sang pembuat yang berasal
dari endapannya dalam memandang realitas pada situasi dan kondisi realitas sosial film
tersebut dibuat. Bahkan menurut J.B. Kristanto, film adalah artefak budaya yang ‘aktif’
karena kita menyaksikan masa lalu secara ‘hidup’. Sehingga, merestorasi sebuah
film adalah usaha melestarikan artefak budaya yang penting untuk dilakukan,
sebagai bagian menyelamatkan warisan sejarah bangsa.
Beberapa
hari ini, Kompas TV menayangkan iklan pemutaran
film Naga Bonar menjelang pergantian tahun 2014-2015. Dalam
iklannya, Kompas TV mengklaim kesempatan bagus menonton kembali film mahakarya
anak bangsa ini dalam keadaan yang 'bersih' hasil teknologi restorasi
digital. Restorsi film merupakan sebuah tindakan mereproduksi sebuah film agar dapat bisa
terlihat dan dapat dilihat.
Film
"Naga Bonar" sendiri merupakan film garapan sutradara M.T. Risyaf padatahun 1987 yang dibintangi Deddy
Mizwar, Nurul Arifin, dan Afrizal
Anoda. Film ini merupakan film komedi situasi yang mengambil latar peristiwa
perang kemerdekaan Indonesia ketika sedang melawan kedatangan pasukan Kerajaan
Belanda pasca kemerdekaan Indonesia di daerah Sumatera Utara. Sekuelnya juga sudah
dibuat bertajuk "Naga Bonar (Jadi) 2" (2007) yang ternyata sukses
ditonton oleh banyak orang. Ini berarti, masyarakat kita butuh keragaman tema film.
Tidak sekadar film horor saja. Disamping itu, untuk saat ini film asli
Indonesia dengan genre nasionalime masih sangat minim ditemukan di pasaran film
Indonesia, yang masih banyak hanyalah film bertema cinta dan hantu.
Naga
Bonar (Deddy Mizwar) adalah seorang pencopet di Medan yang sering keluar-masuk
penjara Jepang, ia bersahabat dengan seorang pemuda bernama Bujang. Sepulang
dari penjara, Bang Pohan (Piet Pagau) mengabarkan tentang proklamasi
kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamasikan di Jakarta, dan di Medan yang
belum sempat dimerdekakan harus memerangi Belanda yang sudah memasuki wilayah
Indonesia dengan maksud untuk berkuasa lagi. Lewat narator radio, diceritakan
penolong Naga Bonar ketika sakit, Dokter Zulbi yang merupakan teman Bang Pohan
diperkirakan sebagai mata-mata Belanda yang ternyata itu hanya isu. Naga Bonar pun
menjadi tentara garis depan dalam perlawanan terhadap Belanda. Setelah beberapa
perlawanan yang sengit, Naga Bonar dititahkan dari markas untuk mundur karena
perundingan dengan Belanda mau dilaksanakan.
Perpindahan
pasukan dari desa ke markas menjadi saat Naga Bonar mulai tertarik dengan anak
Dokter Zulbi, Kirana (Nurul Arifin). Pada perundingan
Belanda dengan Indonesia, Naga Bonar yang menjadi wakil Indonesia justru
menunjuk Parit Buntar sebagai tempat wilayah tentaranya (karena Naga Bonar
tidak bisa membaca peta). Juru tulis pasukan, Lukman, mengatakan bahwa Parit
Buntar adalah tempat yang sudah diduduki oleh Belanda. Setelah itu, Naga Bonar
mulai mendekati Kirana dengan hasil yang memuaskan. Sehari setelah itu, Bujang
mengambil baju jenderal Naga Bonar dan pergi ke Parit Buntar untuk melawan
Belanda, naas, ia tewas. Akhirnya bersama dengan Kirana, dan pasukannya pergi
ke Parit Buntar untuk memusnahkan markas Belanda dan berhasil. Film diakhiri
dengan orasi Naga Bonar dan Kirana kepada pemuda indonesia.
Untuk dapat diputar
kembali, film penyabet penghargaan kategori terbaik dalam Festival Film
Indonesia (FFI) 1987 ini harus melalui proses restorasi pita induk atau remastering terlebih
dahulu karena kondisi master negatifnya yang telah parah.
Film
dengan 144.000 frame dan berdurasi 95 menit ini, dari proses pertama restorasi
hingga dapat kembali
diputar dengan fasilitas teknologi dolby surround digital,
kurang lebih telah menghabiskan biaya sekitar tiga kali biaya produksi film hantu. Satu film hantu kira-kira
menelan biaya sekitar 1 M.
Sungguh
suatu kebahagian tersendiri, sebuah arsip atau karya
film Indonesia di masa lampau, dalam hal ini karya Usmar Ismail, bisa kita
saksikan dalam format yang telah direstorasi. Pentingnya sebuah karya film yang
direstorasi itu sendiri adalah bagaimana kita bisa menyaksikan sebuah karya
film-film produksi terdahulu dalam bentuknya yang utuh. Hal ini tidak lain
karena beberapa arsip film Indonesia yang diproduksi di masa lampau tidak
mengalami perawatan yang memadai. Sehingga beberapa film klasik Indonesia
tersebut, tidak bisa disaksikan dalam kondisi utuh seperti kondisi awal ketika
diproduksi. Setidaknya pengertian utuh di sini adalah perihal film dalam bentuk
(form) asalnya sangat dipengaruhi oleh material film yang mengalami kerusakan
karena usia dan perawatan yang tidak memadai.
Sebanyak 29 film
Indonesia klasik (termasuk Naga Bonar) telah didigitalisasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia
dan Sinematek Indonesia dengan memakan biaya sebesar Rp 3 miliar. Film-film
Indonesia ini terpilih untuk didigitalisasi karena bersinar di ajang-ajang
penghargaan, mewakili fenomena pada zamannya, dan terbilang
langka serta unik. Jadi, di malam pergantian tahun nanti, kita duduk di depan
saluran Kompas TV menyaksikan salah satu mahakarya anak bangsa, Naga Bonar.
Label:
Review Teks
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: