Coba simak yang ini deh!

Liat Tayangan

Follow ya...

Monday, April 2, 2018

SQ3R untuk Menampik Hoax pada ‘Kids Zaman Now’

Pemerolehan informasi sebagai pengembangan ide, kebutuhan akademik, atau bahkan hanya hiburan semata tentu dianggap sah bagi kebanyakan orang. Mungkin jika dahulu untuk memperoleh media yang menyebarkan informasi dirasa terbatas, berbanding terbalik dengan ‘zaman now’ (baca: zaman sekarang). Media penyampai informasi saat ini berkembang menjadi layaknya amuba yang mampu membelah diri menjadi banyak. Beragam jenis sumber referensi baca dapat kita peroleh melalui media apapun. Buku, koran, dan majalah bukan lagi menjadi beberapa media populer untuk memperoleh kebutuhan literasi. Kita sebagai makhluk yang haus akan informasi dapat mencari referensi literasi dengan hanya memandangi monitor komputer – melalui dunia daring – seharian.
 Media daring yang saat ini dijadikan sebagai alternatif dalam memperoleh informasi tentunya merupakan salah satu cara yang efektif dan instan dalam pemenuhan kebutuhan kita akan informasi. Sayangnya, sifat referensi daring yang dianggap sangat lentur menjadikannya seperti pedang bermata dua. Di satu sisi dapat memberikan faedah bagi kita, tetapi di satu sisi lainnya dapat menjadi pembunuh. Dengan berkembangnya sistem daring untuk menyebarkan informasi sudah barang tentu akan menjadi sangat sulit untuk meninjau kembali apakan bacaan yang kita baca dapat terbukti kebenarannya atau tidak. Hal tersebut menjadikan kita sebagai pembaca harus lebih selektif dalam memilih dan memilah informasi yang dapat kita cerna untuk wawasan baru. Proses memilih dan memilah tersebut sudah barang tentu diwakili langsung oleh cara kita membaca dan memahami informasi melalui bacaan.
Memahami informasi sebagai kebutuhan bukan keterpaksaan
Proses membaca bagi segelintir orang menjadi momok yang menakutkan karena tidak semua orang mampu membaca dengan nikmat, khidmat, dan penuh rasa ingin tahu. Bagi sebagian orang membaca dirasa sulit, baik sulit memahami isi maupun melawan rasa malas dalam membaca. Hal itu tentu dipengaruhi oleh semakin instannya pemerolehan referensi di media daring. Kita tak perlu lelah memahami sebuah teks melalui bacaan. Kita juga mampu memahami teks melalui tampilan visual video yang mudah dicerna. Selain itu, kita juga mampu memahami teks melalui audio yang jauh lebih membius kita untuk jauh lebih ingin tahu tentang informasi yang disampaikan. Alih-alih memahami teks melalui membaca, kita jauh lebih menyukai mendengarkan atau melihat langsung. Padahal proses membaca dapat merangsang kemampuan pemahaman kita terhadap objek baca dengan mendeskripsikannya dalam pemikiran kita. Tentu hal itu menjadikan proses membaca sebagai proses pendewasaan pemikiran kita sebagai orang yang perlu akan pengetahuan.
Menurut Sadler (dalam Ekawati http://setiaekawatimakalah.blogspot.co.id) menyatakan, membaca tidak hanya sekedar memasangkan bunyi dengan huruf atau belajar kata-kata, membaca melibatkan pemahaman, memahami apa yang dibaca, apa  maknanya, apa yang diimplikasikan. Dengan penjelasan tersebut dapat dipastikan bahwa dengan membaca yang sungguh-sungguh dapat manjadikan kita fokus terhadap informasi yang kita butuhkan dan bukan melahirkan keterpaksaan sehingga menyebabkan pemerolehan pemahaman yang tidak utuh. Jika sudah mendapatkan pemerolehan informasi yang tidak lagi utuh sudah dapat dipastikan ketika kita ingin melakukan proses resitasi bacaan – baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain – tidak akan sesuai dengan informasi awal. Inilah yang pada akhirnya dapat teridentifikasi sebagai informasi palsu atau kerap dikatakan dengan sebutan ‘hoax’. Informasi yang tergolong dalam hoax sebetulnya dapat diketahui dengan beberapa cara. Kebiasaan yang kerap digunakan penulis untuk mengidentifikasi bahwa informasi yang sedang dibaca merupakan informasi hoax adalah dengan menyalin gambar yang tercantum di informasi tersebut dan mencarinya kembali di aplikasi pencarian gambar milik Google. Setelah kita mengunggah gambar dalam berita tersebut di aplikasi pencari gambar milik Google biasanya akan muncul beberapa referensi literasi terkait gambar tersebut dan dapat kita simpulkan mana informasi yang bisa diterima dan mana yang tergolong informasi hoax.
Kita adalah salah satu pembunuh karakter yang tidak bertanggung jawab
Bagi pembaca yang sulit mengelakan rasa malas dalam memahami bacaan tentunya akan sangat mudah terjebak dalam informasi profokatif yang biasa tersaji di media daring. Padahal jika kita selektif dalam memilah dan memilih bahan informasi di media daring, kita akan merasakan faedah dalam berselancar di media daring. Belum lama ini terdapat berita mengenai seorang sosok wanita berinisial HA (mahasiswi eks UI) yang digadang-gadang menjadi korban dalam kasus penyebaran video tidak senonoh. Tak tanggung-tanggung, penyebaran videonya hingga menjadi trending topic di beberapa media sosial dan menjadi buruan berjuta-juta masyarakat penikmat media daring. Ironisnya kasus ini masih dalam tahap proses pengusutan, tetapi informasi yang beredar sudah sangat luas, masif, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Parahnya, sudah beredar akun palsu atas nama HA dan menyebarkan informasi-informasi yang merugikan HA, baik dari segi mental maupun nama baik orang-orang di lingkungannya. Itulah dampak buruk ‘hoax’ jika dikonsumsi secara masif. Dengan meluangkan waktu kita untuk jauh lebih memahami teks atau bacaan informasi di media daring pasti kasus HA tidaklah akan terjadi. Bukan hanya merugikan orang yang dibicarakan oleh referensi yang kita baca, kita juga menjadi salah satu pelaku pembunuhan karakter seseorang. Jika ternyata kasus HA menyatakan bahwa ia bukanlah pelakunya tentu hal tersebut adalah pukulan berat bagi HA dan sudah dipastikan akan merusak masa depannya.
"Tolong dibiasakan membaca dulu. Jangan cuma membaca judul, lalu belum dibaca isinya, lalu disebarkan begitu saja. Ingat, hati-hati dengan Undang-undang ITE," kata Ketua Komite Fact Checker ‎Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) ‎Aribowo Sasmito dalam Diskusi Polemik SINDO Trijaya Network bertajuk Saracen dan Wajah Medsos Kita di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (26/8/2017).
Kalimat imperatif di atas jelas-jelas menegaskan bahwa negara kita sudah memperhitungkan regulasi apa yang perlu dibuat untuk melidungi kita dan masyarakat lainnya dari bahaya laten pemberitaan ‘hoax’. Kita bisa saja menjadi korban atau bahkan tanpa disengaja menjadi pembunuh karakter yang jauh lebih keji dari tindak kriminal apapun. Hanya dengan sedikit kicauan kita di media daring kita mampu mendegredasi masa depan seseorang dan bahkan mampu mematikan kehidupan orang lain.
Dengan UU nomor 11 tahun 2008 dan nomor 1 tahun 1946 pemerintah mencoba memberikan perlindungan hukum. Penekanan regulasinya terdapat pada pasal 28, 14, dan 15.

Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana
Pasal 14
(1) Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
(2) Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan la patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

Pasal 15
Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi, tingginya dua tahun.
Mari membaca dengan metode SQ3R untuk menghindari hoax
Jelaslah sudah bahwa proses membaca yang sempurna dan purna merupakan satu-satunya cara untuk menepis keterlibatan kita pada hoax. Seorang tokoh akademis dari Universitas Ohio Perancis bernama Francis Robinson telah mengembangkan suatu konsep dan metode membaca secara purna dan berkualitas pada tahun 1940 dengan nama SQ3R (survey, question, read, recite, and review). Metode ini merupakan alur proses membaca sehingga pada akhir proses kita diharapkan tidak hanya mampu memahami suatu bacaan, tetapi juga mampu menjadi pewarta yang baik kepada orang lain.  Seorang pembaca saat melakukan proses literasi tidak hanya tuntas dengan membaca informasi yang kita butuhkan saja, tetapi juga perlu dilakukan tahap yang lebih masif hingga akhirnya pembaca memiliki kemampuan untuk menjadi personal yang siap untuk meresitasi ke orang lain.
Proses SQ3R dimulai dengan proses survey, yaitu pembaca diharapkan melakukan pemindaian cepat terhadap judul, subjudul, dan kata-kata kunci yang dianggap mampu menyimpulkan isi bacaan. Selanjutnya, pembaca akan melakukan proses question, yaitu proses mempertanyakan baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri mengenai hasil pemindaian cepat buku yang dibacanya. Setelah itu, proses dilanjutkan dengan melakukan read. Dalam proses inilah pembaca mulai membaca bacaan dari bagian awal hingga akhir. Setelah mengetahui isi bacaan secara menyeluruh proses literasi akan dilanjutkan pada proses Recite. Pada proses recite ini pembaca diharapkan mampu menceritakan kembali, baik dengan konten yang tepat maupun dengan gaya yang berbeda. Proses ini dilakukan untuk diri sendiri atau juga untuk orang lain. Setelah proses diatas dilakukan, pembaca akan melanjutkan pada proses terakhir, yaitu review. Pada proses ini diharapkan pembaca dapat kembali menyelami pemahaman informasi yang dibacanya dengan cara mengulang-ulang pemahamannya. Dengan melakukan proses review pembaca tidak hanya menaruh ingatan tentang bacaanya di memori jangka pendeknya, tetapi juga menaruhnya di memori jangka panjang.
Metode SQ3R seharusnya menjadi metode yang masif dalam memahami teks literasi sehingga seorang pembaca tidak hanya mengambil keuntungan literasi untuknya saja, tetapi juga dapat diaplikatifkan dan diresitasikan kepada banyak orang. Tentu faedah yang diterima jauh lebih banyak daripada hanya digunakan untuk dirinya sendiri. Jika semua pembaca dapat bertanggung jawab atas penjelasannya dalam menyebarkan informasi tentunya tidak akan terjadi kasus-kasus hoax yang dapat merugikan banyak belah pihak.
Penggunaan metode SQ3R juga dirasa penting untuk digunakan oleh pelajar dan mahasiswa di Indonesia agar mereka dapat menjadi generasi penerus bangsa yang memiliki karakter adiluhung dan siap bersaing di pasar bebas. Sesuai dengan nawacita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa pendidikan di Indonesia dapat mencetak generasi yang siap dalam menghadapi era globalisasi dan menjadi generasi yang adiluhung dengan kecakapan yang siap untuk menjadi amunisi dalam menyambut bonus demografi. Jika pelajar dan mahasiswa dapat dipersiapkan dalam menyambut bonus demografi sudah barang tentu Indonesia akan memperoleh keuntungan besar karena akan menjadi negara yang siap dan cakap dipandang dunia lain.
Istilah ‘kids zaman now’ merupakan bentuk imperatif yang bermakna terjadinya degradasi moral dikalangan muda-mudi. Pemberitaan informasi hoax pun digadang-gadang menjadi salah satu faktor pembentuk generasi ‘kids zaman now’ ini. Hal tersebut terjadi mengingat kemudahan teknologi yang diterima generasi muda saat ini tidak diikuti dengan pemahaman kuat untuk mencerna berita dengan bertanggung jawab. Kita tentu tidak perlu berpikir skeptis terhadap teknologi karena teknologi bukanlah penghambat berkembangnya bangsa. Kita hanya perlu menyiasati keunggulan yang kita miliki dengan metode yang tepat guna dan memiliki kemudahan dalam aplikasinya.
Kehadiran implementasi kurikulum 2013 juga salah satu cara pemerintah untuk menghadang persoalan degradasi moral ini. Penilaian sikap, spiritual, akademik, dan keterampilan dibuat seimbang dan memiliki proporsi yang tepat dalam membentuk siswa. Penerapan literasi dalam pembelajaran pun iktu ditekankan menjadi salah satu metode pemerolehan materi pembelajaran. Tentu guru sebagai garda terdepan dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa di Indonesia harus pintar dan jeli dalam mendidik putra-putri bibit kesuksesan bangsa ini. Terakhir dari penulis, seberapapun tangguhnya suatu metode untuk menanggulangi masalah kebangsaan tentu tidak akan begitu berpengaruh bila seluruh pihak ikut menyokong dan berperan aktif dalam mencapai tujuan kebangsaan.

0 komentar: