Coba simak yang ini deh!
Liat Tayangan
Follow ya...
Wednesday, February 5, 2014
Ketika Sri Sultan HB IX Ditilang Seorang Polantas
Becak dan delman amat dominan masa itu , persimpangan Soko mulai riuh
dengan bunyi kalung kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti
sang kusir. Dari arah selatan dan membelok ke barat sebuah sedan hitam
ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak dan
delman . Brigadir Royadin memandang dari kejauhan ,sementara sedan hitam
itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap ia menyeberang jalan
ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut
Sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan
tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan pekalongan
berhenti dihadapannya.
Saat mobil menepi , brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi
dan memberi hormat. “Selamat pagi!” Brigadir Royadin memberi hormat
dengan sikap sempurna . “Boleh ditunjukan rebuwes!” Ia meminta surat
surat mobil berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca ,
jaman itu surat mobil masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan , pria berusia sekitar setengah abad menurunkan kaca samping
secara penuh. “Ada apa pak polisi ?” Tanya pria itu. Brigadir Royadin
tersentak kaget , ia mengenali siapa pria itu . “Ya Allah…sinuwun!”
kejutnya dalam hati . Gugup bukan main namun itu hanya berlangsung
sedetik , naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap
sempurna.
“Bapak melangar verbodden , tidak boleh lewat sini, ini satu arah !” Ia
memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogja, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Dirinya tak habis pikir , orang sebesar sultan HB IX
mengendarai sendiri mobilnya dari jogja ke pekalongan yang jauhnya cukup
lumayan., entah tujuannya kemana.
Setelah melihat rebuwes , Brigadir Royadin mempersilahkan Sri Sultan
untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan , namun sultan
menolak. “ Ya ..saya salah , kamu benar , saya pasti salah !” Sinuwun
turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap
menggengam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa.
“ Jadi…?” Sinuwun bertanya , pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya .
“Em..emm ..bapak saya tilang , mohon maaf!” Brigadir Royadin heran ,
sinuwun tak kunjung menggunakan kekuasaannya untuk paling tidak
bernegosiasi dengannya, jangankan begitu , mengenalkan dirinya sebagai
pejabat Negara dan Rajapun beliau tidak melakukannya.
“Baik..brigadir , kamu buatkan surat itu , nanti saya ikuti aturannya,
saya harus segera ke Tegal !” Sinuwun meminta brigadir Royadin untuk
segera membuatkan surat tilang. Dengan tangan bergetar ia membuatkan
surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi tidak tahu
kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan
yang terjadi di depan hidungnya. Yang paling membuatnya sedikit tenang
adalah tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut sinuwun menyebutkan
bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi. “Sungguh orang yang besar…!”
begitu gumamnya.
Surat tilang berpindah tangan , rebuwes saat itu dalam genggamannya dan
ia menghormat pada sinuwun sebelum sinuwun kembali memacu Sedan hitamnya
menuju ke arah barat, Tegal. Beberapa menit sinuwun melintas di depan
stasiun pekalongan, brigadir royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya
dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda ontelnya
mengejar Sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur
dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun
berhasil menghibur dirinya.
Saat aplusan di sore hari dan kembali ke markas , Ia menyerahkan rebuwes
kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut.,Ialu kembali
kerumah dengan sepeda abu abu tuanya. Saat apel pagi esok harinya ,
suara amarah meledak di markas polisi pekalongan , nama Royadin
diteriakkan berkali kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh
gopoh menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku
kepala kantor.
“Royadin , apa yang kamu lakukan ..sa’enake dewe ..ora mikir ..iki sing
mbok tangkep sopo heh..ngawur..ngawur!” Komisaris mengumpat dalam bahasa
jawa , ditangannya rebuwes milik sinuwun pindah dari telapak kanan
kekiri bolak balik.
“ Sekarang aku mau tanya , kenapa kamu tidak lepas saja sinuwun..biarkan
lewat, wong kamu tahu siapa dia , ngerti nggak kowe sopo sinuwun?”
Komisaris tak menurunkan nada bicaranya. “ Siap pak , beliau tidak
bilang beliau itu siapa , beliau ngaku salah ..dan memang salah!”
brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia ..ojo kaku kaku , kok malah
mbok tilang..ngawur ..jan ngawur….Ini bisa panjang , bisa sampai Menteri
!” Derai komisaris. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri
Kepolisian Negara.
Brigadir Royadin pasrah , apapun yang dia lakukan dasarnya adalah
posisinya sebagai polisi , yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada
siapa saja ..memang Koppeg(keras kepala) kedengarannya. Kepala polisi
pekalongan berusaha mencari tahu dimana gerangan sinuwun , masih di
Tegalkah atau tempat lain? Tujuannya cuma satu , mengembalikan rebuwes.
Namun tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar kabar ,
keberadaa sinuwun tak kunjung diketahui hingga beberapa hari. Pada
akhirnya kepala polisi pekalongan mengutus beberapa petugas ke Jogja
untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikut sertakan Brigadir Royadin.
Usai mendapat marah , Brigadir Royadin bertugas seperti biasa , satu
minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman temannya yang
mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya akan dimutasi ke
pinggiran kota pekalongan selatan.
Suatu sore , saat belum habis jam dinas , seorang kurir datang
menghampirinya di persimpangan soko yang memintanya untuk segera kembali
ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya keruang
komisaris yang saat itu tengah menggengam selembar surat.
“Royadin….minggu depan kamu diminta pindah !” lemas tubuh Royadin , ia
membayangkan harus menempuh jalan menanjak dipinggir kota pekalongan
setiap hari , karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya
dipersimpangan soko .
“ Siap pak !” Royadin menjawab datar. “Bersama keluargamu semua,
dibawa!” pernyataan komisaris mengejutkan , untuk apa bawa keluarga
ketepi pekalongan selatan , ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang !” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur…Kamu sanggup bersepeda pekalongan – Jogja ? pindahmu itu ke
jogja bukan disini, sinuwun yang minta kamu pindah tugas kesana ,
pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat.!” Cetus pak komisaris , disodorkan
surat yang ada digengamannya kepada brigadir Royadin.
Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan dari Sri Sultan HB IX yang intinya :
“ Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja , sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Ditanda tangani sri sultan hamengkubuwono IX.
Tangan brigadir Royadin bergetar , namun ia segera menemukan jawabannya.
Ia tak sangup menolak permntaan orang besar seperti sultan HB IX namun
dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota pekalongan .Ia
cinta pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini .
“ Mohon bapak sampaikan ke sinuwun , saya berterima kasih, saya tidak
bisa pindah dari pekalongan , ini tanah kelahiran saya , rumah saya .
Sampaikan hormat saya pada beliau ,dan sampaikan permintaan maaf saya
pada beliau atas kelancangan saya !”
Brigadir Royadin bergetar , ia tak memahami betapa luasnya hati sinuwun
Sultan HB IX , amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris namun
penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban
ketegasannya.
Sumber:
Label:
Blog and Jurnalism
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: